Pilkada, merupakan pesta demokrasi di tingkat kabupaten, untuk menentukan bupati yang akan memimpin suatu kota dalam satu masa jabatan selama 5 tahun. Saya mencoba memperdalam pilkada di daerah tempat tinggal saya, yaitu Gresik. Yang sebelumnya saya sudah membicarakan di tulisan saya sebelumnya bahwa Gresik merupakan kota kecil namun banyak pabrik yang berdiri di wilayah tersebut. Dengan banyaknya pabrik, banyak pula uang pajak yang beredar, dan dengan banyaknya uang pajak yang beredar, otomatis hal ini akan menyebabkan rawan korupsi pula. Karena banyaknya uang yang beredar pada tiap departemen, sehingga hal ini berpotensi terjadinya koruupsi yang sistemik dan berkelanjutan. Salah satu pengawasan adalah dengan meningkatkan pengawasan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik lembaga yang berada pada pengawasan pemerintahan maupun tidak. Dan masyarakat sudah ragu, jika lembaga pengawasan bukan dari lembaga independen, artinya jika pengawasan itu dilakukan oleh lembaga pemerintah, tidak dipungkiri akan terjadi kerjasama untuk melakukan tindak korupsi, karena orangnya ya itu-itu saja. Jadi bisa dibilang pertemanan antara maling dan oknum lembaga berwenang. Kenapa disebutkan oknum, karena kami yakin tidak semua orang di lembaga pemerintahan itu kotor, ada juga yang bersih, namun jumlahnya yang masih kecil.
Kecewa, itulah reaksi pertama ketika melihat banyaknya spanduk dan pamflet yang beredar berisi dukungan terhadap tiap-tiap kandidat calon. Kenapa kami kecewa? Karena tentu saja terlalu banyak calon yang bertanding disini, kami melihat , dengan banyaknya calon seperti ini akan berpotensi pada penghambatan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah terpilih. Yang ditakutkan adalah, ada banyak calon (terutama yang kalah) yang berkonsolidasi untuk membentuk lembaga tidak resmi dan bertujuan untuk menghambat pembangunan sebagai sarana untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa rakyat seakan-akan telah salah pilih. Ini hal yang berpotensi sangat berbahaya bagi kemajuan kota Gresik. Boleh , calon yang kalah itu menjadi oposisi, artinya oposisi yang mengawal pembangunan, bukan malah menghancurkan pembangunan. Oposisi yang bertindak sebagai kontrol atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sah. Namun kontrol itu juga bisa dilakukan mahasiswa, LSM, dan lembaga lainnya. Alangkah baiknya jika hal ini berjalan sesuai konsistensi masing-masing lembaga. Jadi, pada kebijakan pemerintah yang kurang menguntungkan bagi rakyat, hal itu bisa segera di cover oleh usulan atau saran dari oposisi tersebut. Pemerintah yang sah dan oposisi tercipta untuk menciptakan sistem tatanan kota dan kebijakan-kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan pemerintah sah dengan oposisi tercipta bukan hanya untuk semata-mata bermusuhan.
Berharap hal seperti itu terjadi di bumi Indonesia dan pada khususnya di Gresik.. Amiin..
by BIBIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar