Minggu, 02 Januari 2011

Sebagai kaum Underclass yang Terhina

Harapan, sebuah kata yang selalu diinginkan oleh semua orang untuk datang menghampirinya, tidak lain agar mereka berhasil dan sukses dengan apa yang ingin dicapai. Harapan banyak memenuhi otakku, sebagai “kaum underclass yang terhina” kata “harapan” menjadi ujung dari impian yang terlalu sulit untuk diwujudkan oleh kami (“kaum underclass terhina”).

Dalam tatanan kehidupan, manusia memang diciptakan beberapa kelas2, kelas2 tersebut dibagi2 lagi tergantung diurutkan melalui kategori apa. Dalam kategori materi, manusia bisa kita sebut dibedakan menjadi kaum bawah / underclass dan kaum atas / highclass. Sebenernya aku tidak mempermasalahkan 2 kategori tersebut, karena aku sudah berkeyakinan bahwa perbedaan itu akan membentuk suatu kesatuan yang harmonis dan saling melengkapi. Yang aku perbincangkan pada tulisan ini hanyalah kenapa kaum highclass tak pernah menghargai perbedaan itu, kenapa mereka selalu meremehkan dan memaki kaum underclass.

Sebagai kaum underclass, kami memang sulit untuk mendapatkan pengakuan. Malah lebih dibilang sering mendapat harapan kosong yang tak pernah terwujud dalam kenyataan. Mimpi adalah sesuatu yang indah, mungkin hanya mimpi yang dapat membangkitkan semangat hidup kami, bahkan terkadang kami lebih mengharapkan hidup dalam mimpi daripada hidup dalam nyata.

Salah satu patokan yang menandakan ketidak-beruntungan kami sebagai kaum underclass adalah wanita. Kenapa aku pilih faktor wanita, ya sebagai anak muda, faktor wanita menjadi faktor utama biasanya. Haha.

Wanita selalu menghindari kaum underclass pria, mereka kebanyakan memilih para pria highclass yang mengandalkan harta orang tua dan menyodorkan kesombongan atas apa yang sebenernya tidak dia miliki. Memang mungkin para wanita jaman sekarang memandang pasangan lebih daripada materi, kendaraan dan uang adalag contoh nyata. Sekarang pasti sering kita dengar dari omongan2 publik, wanita mencari materi bukan sesuatu yang sejati.

Banyak faktor menjadikan hal tersebut menjadi hal biasa dalam tatanan kehidupan saat ini, keluarga dan teman misalnya. Orang tua seperti mendekti dan mendoktrin anaknya ketika mereka selalu bilang bahwa cari pasangan itu yang kaya, pasti hidup akan enak. Padahal kalu kita telisik lagi hidup yang enak itu bukan masalah materi dan harta saja, tapi banyak indikatornya. Kebahagiaan tercapai melalui proses dengan tujuan yang jelas. Harta memang termasuk dalam indikator suksesnya hidup yang enak tersebut, tapi kita juga tidak bisa semena-mena menyimpulkan kebahagian/ hidup yang enak itu adalah melalui uang. Coba kalian (terutama kaum wanita) mempunyai pasangan yang kaya, tapi dia tidak mempunyai ketulusan. Artinya segala sesuatu diukur dari uang. Contoh kasus, seorang istri sakit parah namun hanya dibawa ke puskesmas kecil daripada rumah sakit berstandar internasional hanya karena perhitungan uang, suami yang dianggap kaya tersebut penghematan adalah segalanya, bahkan mengalahkan kesehatan orang terdekatnya. Ada juga cerita tentang seorang ibu kaya-raya yang hidup dan tinggal berdua dengan anak tunggalnya, pada suatu ketika sang anak kecelakaan dan membutuhkan cukup biaya untuk operasi, sang ibu malah menyarankan perawatan biasa padahal uangnya cukup melimpah bahkan bisa dibilang dia dapat membeli rumah sakit tersebut. Dan apa yang terjadi pada anak itu, kakinya diamputasi karena tidak dibawa ke meja operasi hanya karena faktor “Ketuhanan Uang”, sang ibu terlalu saying pada uang daripada kaki anak semata wayangnya. Itu hanya sedikit cerita dari realita yang sudah terjadi dalam kehidupan jaman sekarang.

Teman, faktor ini juga terkadang menyesatkan. “pacar kamu ko ngga modal, masak ngajak makan di warung biasa”, “cowok loe ko kendaraannya Cuma pake motor butut gitu”, “kamu masih belom pernah dibeliin cowokmu baju pesta”, kata2 seperti itu yang terucap oleh teman yang katanya sahabat sejati tak menjerumuskan. Semua itu hanya omong kosong dan otak kosong. Dengan perkataan seperti itu, akan menciptakan tekanan pada psikologi bahwa cari pacar harus memenuhi standar tinggi. Bukan lagi karena ketulusan dan kejujuran tapi sudah merembet ke hal yang menurut aku tidak sepatutnya diikutkan. Cinta itu kejujuran, bukan cinta itu keuangan.

Kami, para pria kaum underclass telah banyak mengalami hal2 seperti itu, ditolak cewek karena masalah materi. Kami memang ditakdirkan menjadi orang yang serba kekurangan, dan mungkin jika bisa memilih kami tidak akan memilih menjadi orang yang serba kekurangan seperti ini. Memapah ketiadaan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup dalam bayang2 ketidakmampuan. Namun satu hal yang ingin kami tanyakan, apakah kalian tidak bisa melihat kami dari sisi yang lain, dari sisi ketulusan kami.?

By BIBIL

2 komentar: